Belakangan ini, jagat maya dihebohkan dengan fenomena lowongan magang yang mencari anak magang berpengalaman. Tidak sedikit perusahaan yang menetapkan syarat-syarat tinggi untuk posisi magang, mulai dari pengalaman kerja hingga keahlian khusus. Padahal magang seharusnya menjadi ajang bagi mahasiswa dan fresh graduate untuk belajar dan menambah pengalaman. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: kenapa banyak perusahaan di Indonesia mengakali sistem magang?
Daftar Isi
Perusahaan Ingin Tenaga Profesional, Bayar Sekelas Magang
Banyak perusahaan yang mencari “anak magang berpengalaman” karena mereka ingin mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas namun dengan biaya yang jauh lebih murah. Jika mempekerjakan karyawan full-time dengan pengalaman dan keahlian serupa, tentunya akan memerlukan gaji dan benefit yang lebih tinggi. Namun, dengan anak magang, perusahaan dapat membayar jauh di bawah standar karyawan tetap. Ini jelas sebuah bentuk penghematan yang merugikan para pencari magang.
Magang seharusnya berfungsi sebagai jembatan bagi mahasiswa atau fresh graduate untuk mendapatkan pengalaman di dunia kerja. Namun, praktik semacam ini justru menempatkan mereka dalam situasi yang sulit, di mana mereka tidak hanya dituntut untuk bekerja layaknya profesional, tapi juga tidak mendapatkan bayaran yang sepadan.
Melanggar Esensi Peraturan Magang
Secara legal, magang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan yang menjamin bahwa magang adalah kesempatan belajar, bukan bekerja penuh seperti karyawan. Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, disebutkan bahwa program magang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi peserta magang agar siap memasuki dunia kerja. Seharusnya, peserta magang tidak diharuskan memiliki pengalaman sebelumnya.
Namun, saat syarat pengalaman dan keahlian tinggi ditetapkan, perusahaan pada dasarnya sudah menyalahi esensi dari peraturan ini. Mereka mencari tenaga kerja murah dengan label “magang”, tetapi tanggung jawab yang diberikan sudah setara dengan karyawan tetap. Ini bisa dianggap sebagai salah satu bentuk eksploitasi yang tidak seharusnya terjadi.
Menghindari Kewajiban Membayar Karyawan Penuh
Salah satu alasan utama perusahaan melakukan praktik ini adalah untuk menghindari biaya tambahan yang harus dikeluarkan jika mempekerjakan karyawan tetap, seperti gaji bulanan, tunjangan, hingga BPJS. Dengan anak magang, perusahaan hanya perlu memberikan uang saku yang jauh di bawah standar karyawan biasa, atau bahkan tidak memberikan kompensasi sama sekali. Selain itu, mereka juga tidak memiliki kewajiban memberikan tunjangan atau fasilitas lain.
Ini jelas menguntungkan perusahaan dari segi penghematan biaya, namun merugikan anak magang yang seharusnya mendapatkan kesempatan belajar. Alih-alih mendapatkan pembelajaran, anak magang justru dieksploitasi untuk keuntungan perusahaan.
Pengalaman yang Tidak Sesuai Ekspektasi
Banyak anak magang yang berharap bisa belajar banyak hal selama program magang. Namun, dengan adanya tuntutan pengalaman dan kualifikasi tinggi, proses pembelajaran seringkali terabaikan. Mereka ditugaskan pekerjaan-pekerjaan yang berat tanpa bimbingan yang memadai. Akibatnya, bukannya mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru, mereka justru merasa terjebak dalam situasi kerja yang tidak kondusif.
Program magang yang ideal seharusnya memberikan kesempatan bagi peserta untuk mempelajari hal-hal baru, mempraktikkan teori yang telah dipelajari di bangku kuliah, dan mendapatkan gambaran nyata tentang dunia kerja. Namun, fenomena ini justru memutarbalikkan harapan itu, membuat anak magang harus bekerja layaknya karyawan penuh tanpa kompensasi yang sebanding.
Dampak Negatif untuk Industri dan Pencari Kerja
Praktik mencari anak magang yang berpengalaman tidak hanya berdampak negatif pada individu yang magang, tetapi juga pada industri secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, praktik ini bisa mengurangi kualitas SDM yang dihasilkan. Jika para fresh graduate tidak mendapatkan kesempatan magang yang sesuai, maka mereka akan kekurangan pengalaman dan pengetahuan yang dibutuhkan ketika terjun sebagai tenaga kerja penuh waktu.
Lebih dari itu, praktik ini juga menciptakan kesenjangan antara harapan pencari kerja dan kenyataan di lapangan. Banyak mahasiswa dan fresh graduate yang merasa kecewa karena kesempatan magang tidak lagi menjadi ajang pembelajaran, melainkan sekadar jalan pintas bagi perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja murah.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk mengatasi fenomena ini, perlu ada tindakan tegas dari pemerintah maupun lembaga terkait yang bertanggung jawab dalam pengawasan ketenagakerjaan. Perusahaan yang terbukti melanggar aturan magang seharusnya diberikan sanksi yang tegas agar tidak semakin banyak yang mengikuti jejak serupa. Di sisi lain, para pencari magang juga perlu lebih selektif dalam memilih tempat magang dan berani menolak jika merasa diperlakukan tidak adil.
Bagi perusahaan, penting untuk kembali memahami esensi dari program magang. Magang bukanlah kesempatan untuk menghemat biaya, tetapi ajang untuk memberikan pengalaman belajar bagi generasi muda yang kelak akan menjadi tenaga kerja andal di masa depan.
Baca juga: Apakah Masih Ada Anak Magang yang Tidak Dibayar?
Kesimpulan
Fenomena lowongan magang yang mencari anak magang berpengalaman semakin memperburuk citra perusahaan yang seharusnya memberikan kesempatan bagi pemuda untuk belajar. Praktik ini tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga merugikan anak magang dan industri ketenagakerjaan secara keseluruhan. Sudah saatnya semua pihak, baik perusahaan, pemerintah, maupun pencari kerja, bersatu untuk memastikan bahwa program magang kembali kepada tujuannya yang asli: tempat belajar, bukan tempat eksploitasi.